Merdeka Belajar, Belajar secara Merdeka
Dunia pendidikan kita saat ini tengah menghadapi banyak
sekali tantangan yang lahir dari dinamika yang tercipta karena pesatnya
teknologi yang pada gilirannya mengubah cara kita mengelola berbagai aspek
dalam kehidupan kita.
Isu terkait kesehatan mental juga turut menggejala seiring
dengan meningkatnya pajanan informasi dan kemudahan yang dihasilkan berkat
campur tangan teknologi dalam peradaban. Banyak hal yang semula tak menyentuh
ruang privasi kita, kini dapat hadir, bahkan tanpa kita minta.
Dampaknya tentu sistemik dan menggurita. Di satu sisi tentu
kita memperolah banyak kemudahan dalam berbagai aspek layanan publik seperti
pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain ada ekses berupa eskalasi peningkatan
ekspektasi, juga perubahan perimeter persepsi.
PENDIDIKAN
Di dunia pendidikan kedokteran, khususnya pada pendidikan
profesi pun dijumpai berbagai kondisi yang mungkin saja adalah ekses dari
akumulasi kebijakan, sistem, perilaku individu dan kerumunan, serta perubahan
point of view yang cukup signifikan. Pandangan dan cara memandang hidup dapat
diperkaya dengan kesan augmented, juga dapat bersifat virtual, yang kemudian
dapat bertransformasi menjadi nilai yang kemudian terimbibisi menjadi nilai
inti.
Beberapa peristiwa bahkan sampai pada tahap yang sangat
mengkhawatirkan dan memakan korban jiwa. Tentu masih sangat perlu didalami
melalui serangkaian proses investigasi untuk mengetahui akar masalah (root
causes) nya dan juga berbagai elemen penyebab utamanya (causa prima).
Semoga peristiwa yang telah terjadi di program pendidikan
profesi kedokteran (spesialis) dapat menjadi bagian dari proses pembelajaran
yang dapat menjadi awal dari suatu upaya sistematik untuk memetakan
permasalahan dan merumuskan solusi secara bijak.
Kompleksitas pendidikan profesi kedokteran dari tingkat
sarjana sampai spesialis, termasuk program pascasarjananya memang unik dan
memiliki banyak elemen serta variabel yang saling terkait. Perlu objektivitas
dalam menilai da n menganalisa berdasar fakta.
Memandang dengan jernih segenap komponen permasalahan,
sesuai dengan bobotnya. Karena tentu saja ada berbagai pra kondisi yang secara
akumulatif bermuara pada suatu peristiwa.
Sebagai gambaran, tindakan medis yang memerlukan bantuan
keahlian anestesi di rumah sakit rujukan sekelas RSCM, dr Kariadi, atau juga dr
Hasan Sadikin itu bisa mencapai 120-150 tindakan perhari. Sungguh suatu
frekuensi aktivitas yang teramat tinggi dengan tekanan yang juga sangat tinggi, disertai keterbatasan
sumber daya yang tersedia.
Walhasil tentu saja tercipta kondisi okupansi waktu kerja
berdurasi panjang, kelelahan fisik dan mental, serta perubahan pola-pola
hubungan sosial. Kondisi ini tentu juga disebabkan oleh kontribusi berbagai
aspek terkait seperti kebijakan layanan kesehatan di Indonesia, kondisi sarana
dan prasarana fasilitas kesehatan, sistem rujukan, konsep pendidikan kedokteran
dan kesehatan, sampai kondisi psikososial masyarakat.
Terkait beban atau masalah pada program pendidikan tertentu,
tentu masih banyak elemen lain yang berperan, karena sebagaimana peserta didik
di disiplin ilmu manapun tentu kesiapan personal dan latar belakang peserta
didik seperti profil psikologi, ekonomi, serta latar budaya atau sosiokultural
punya pengaruh signifikan dalam proses adaptasi di peran yang tengah
dijalankan.
Demikian pula dinamika generasi yang dipantik oleh disrupsi
teknologi dan perubahan model interaksi, tentu juga perlu mendapatkan perhatian
khusus dari entitas penyelenggara pendidikan. Perbedaan karakter lintas
generasi serta perubahan pola komunikasi kini menjadi krusial.
Di sisi lain konsep, sistem, dan karakter penyelenggara
pendidikan pun perlu dievaluasi secara berkala secara transparan dan objektif.
Hal tersebut terkait antara lain dengan efektivitas program, kesahihan metoda,
kesesuaian kurikulum dll, sampai observasi terhadap dinamika yang terjadi dalam
model relasi akademik, termasuk hubungan interpersonal yang terjadi dalam
berjalannya proses.
Pendidikan kedokteran memang cukup unik posisinya, mengingat
kentalnya aspek humanistik di dalamnya. Elemen kemanusiaan menjadi poros utama
dalam pendidikan kedokteran. Pengabdian tertinggi yang memerlukan pengorbanan
dan juga resiliensi tinggi serta maqom kesadaran yang membutuhkan proses
pendidikan holistik yang melibatkan kapasitas kognitif, ketrampilan konatif,
pengelolaan afektif, dan tingkat kesadaran yang harus dikelola secara
berkesinambungan.
Pendidikan kedokteran sendiri telah berevolusi selama berabad-abad
untuk mendapatkan formulasi yang paling sesuai dengan kebutuhan zaman. Berbagai
penemuan di bidang farmasi dan biomedis seperti antibiotika oleh Alexander
Flemming, ataupun pengembangan teknik pembedahan oleh Al Zahrawi telah
berkontribusi pada peta jalan pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan
sebagai muaranya.
Salah satu tokoh terkenal dalam sejarah pendidikan
kedokteran di masa awal adalah Hippocrates (460–370 SM), yang dianggap sebagai
Bapak Kedokteran Modern, dimana beliau memperkenalkan konsep bahwa penyakit
adalah hasil dari akumulasi sebab alami, bukan sesuatu yang semata bersifat
mistis.
Sebagai tindak lanjut konsepnya, didirikanlah sekolah
kedokteran pertama yang diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah, Sekolah
Kedokteran Kos, yang didirikan oleh Hippocrates di Yunani.
Selama abad pertengahan, pendidikan kedokteran terpusat di
universitas-universitas Eropa seperti Universitas Bologna di Italia dan
Universitas Paris di Prancis, tapi jangan salah, ilmu kedokteran pada masa awal
perkembangannya banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh cendekiawan Muslim seperti
Avicenna (Ibnu Sina), yang menulis Canon of Medicine, sebuah ensiklopedia medis
yang menjadi rujukan utama selama berabad-abad di dunia Barat dan Timur.
Pada era Renaissance, pendidikan kedokteran mengalami
kebangkitan dengan perkembangan anatomi dan pembedahan. Andreas Vesalius
(1514–1564), seorang profesor di Universitas Padua, adalah pelopor dalam
memajukan studi anatomi manusia melalui otopsi. Bukunya De Humani Corporis
Fabrica adalah karya monumental yang mengubah cara pemahaman tentang tubuh
manusia. Pada abad ke-19, pendidikan kedokteran mengalami perubahan drastis.
William Osler (1849–1919), seorang dokter asal Kanada, mengembangkan model
pendidikan berbasis praktik di rumah sakit yang berfokus pada pendekatan
pasien, yang dikenal sebagai bedside teaching. Metode ini kemudian menjadi
standar pendidikan kedokteran di seluruh dunia.
Abad ke-20 ditandai lahirnya pendidikan kedokteran yang
lebih sistematis dan ilmiah. Pada awal abad ini, Abraham Flexner menerbitkan
laporan berjudul The Flexner Report (1910) yang mengevaluasi standar pendidikan
kedokteran di Amerika Serikat dan Kanada. Laporan ini mendorong reformasi
besar-besaran, termasuk peningkatan standar kurikulum dan pengajaran berbasis
laboratorium. Era evidence based medicine pun dimulai.
Dalam perkembangannya pendekatan ilmu kedokteran juga tidak
semata berfokus pada aspek fisik saja, melainkan juga mulai mengedepankan
konsep terintegrasi yang menempatkan manusia sebagai entitas holistik.
Ada aspek mental yang berkontribusi signifikan dalam
penentuan derajat kualitas hidup. Ada karakterisasi personal yang perlu
diketahui dan dikenali, termasuk dalam konteks kesesuaian potensi terkait
dengan pilihan profesi.
Sebagai contoh, salah satu alat tes psikologi yang
dikembangkan untuk menginventarisasi karakter personal manusia adalah MMPI
(Minnesota Multiphasic Personality Inventory). Tes MMPI pertama kali dibuat
pada tahun 1937 oleh seorang ahli psikologi klinis bernama Starke R. Hathaway
dan seorang ahli neuropsikiatri bernama J. Charnley McKinley yang bertugas di
University of Minnesota.
Fase pembaruan pada tes MMPI dirilis pada tahun 1989. Dimana
MMPI-2 adalah suatu alat inventori kepribadian yang dikembangkan oleh Butcher,
Dahlstrom, Graham, Tallegen dan Kaemer pada tahun 1989. Lahirnya MMPI-2
merupakan usaha untuk menyempurnakan generasi sebelumnya yaitu MMPI edisi
pertama yang dipublikasikan oleh Hathaway. MMPI-2 terdiri dari 567 item
inventori personalitas dan 9 skala validitas yang dapat menilai
kejujuran-kebohongan, dan berbagai dinamika pada poros polaritas personal.
Tentu ada banyak teori terkait aspek kejiwaan yang saat ini
berkembang, ada teori psikoanalisis klasik yang digagas oleh Sigmund Freud, dan
ada pula teori kepribadian yang digagas oleh Carl Gustav Jung, dimana Carl
Gustav Jung melakukan penggabungan pandangan teleologi dan kausalitas. Tingkah
laku manusia itu ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu (kausalitas)
tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi individu (teleologi).
Perkembangan di berbagai bidang terkait tentu saja juga
berlangsung teramat pesat. Integrasi berbagai disiplin ilmu telah melahirkan
banyak terobosan dalam perkembangan teknologi kedokteran. Kini kita mulai dapat
melihat peran nanobot dalam proses operasi dan juga drug delivery yang
mendukung kedokteran presisi. Sejalan dengan perkembangan teknik bioteknologi
seperti CRISPR Cas 9, dll.
Berbagai dinamika ini tentu mempengaruhi proses pendidikan
dokter, demikian pula dinamika psikososial yang dialami oleh peserta didik,
pendidikan, perencana pendidikan, dan juga segenap pemangku kepentingan dan
kebijakan pendidikan. Dunia yang secara konstan melakukan proses perubahan akan
terus melahirkan kebaruan yang memerlukan kemampuan untuk meningkatkan
kapasitas adaptasi secara berkesinambungan.
Pendidikan profesi kedokteran, termasuk pendidikan spesialis
tergolong dalam kategori pendidikan atau proses pembelajaran orang dewasa.
Dimana menurut Malcolm Knowles, seorang ahli pendidikan dewasa, pembelajaran
orang dewasa (andragogi) memiliki karakteristik khusus.
Orang dewasa lebih cenderung mengandalkan pengalaman hidup
mereka dalam proses belajar, memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, dan
memerlukan relevansi langsung dalam pembelajaran. Knowles menekankan bahwa
pendidikan orang dewasa harus bersifat partisipatif, di mana mereka memiliki
otonomi dalam mengarahkan proses belajarnya.
Teori andragogi Knowles menjadi dasar dalam pendidikan orang
dewasa. Beberapa prinsip utama dalam teorinya antara lain, kebutuhan untuk tahu
(Need to Know), dimana orang dewasa perlu memahami mengapa mereka harus
mempelajari suatu keterampilan atau pengetahuan tertentu sebelum mereka mulai
belajar.
Konsep Diri (Self-concept), dimana orang dewasa cenderung
melihat diri mereka sebagai individu yang bertanggung jawab atas keputusan hidupnya,
sehingga mereka lebih suka terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Dalam konteks pendidikan orang dewasa pengalaman hidup
merupakan sumber belajar yang berharga, oleh karena itu, program pendidikan
orang dewasa harus memanfaatkan pengalaman tersebut sebagai bagian dari proses
pembelajaran.
Orientasi Belajar Berbasis Masalah, orang dewasa lebih
menyukai pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemecahan masalah praktis
dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dimana pemecahan masalah dengan segenap
prosesnya juga terkait dan berpengaruh pada pembentukan karakter.
Proses ini idealnya dilakukan melalui pengembangan
keterampilan profesional, dimana pembentukan karakter ideal juga menjadi fokus
penting dalam pendidikan orang dewasa. Pembentukan karakter dalam konteks
pendidikan mencakup nilai-nilai seperti integritas, tanggung jawab, empati, dan
kolaborasi.
Hal ini juga sejalan dengan Albert Bandura yang mengusung
teori tentang Social Learning atau Observational Learning yang memberikan
wawasan penting dalam pembentukan karakter. Bandura berpendapat bahwa individu
belajar melalui pengamatan dan peniruan perilaku orang lain, terutama dari
model atau tokoh yang mereka anggap sebagai panutan.
Dalam pendidikan orang dewasa, model atau mentor memainkan
peran penting dalam menanamkan nilai-nilai positif melalui teladan.
Carl Rogers dan Abraham Maslow adalah tokoh utama dalam
pendekatan humanistik yang menekankan pentingnya pengembangan diri
(self-actualization) dan potensi penuh setiap individu. Menurut Maslow, orang
dewasa yang belajar dengan motivasi intrinsik cenderung mencapai puncak
aktualisasi diri ketika kebutuhan-kebutuhan dasar seperti rasa aman dan
kebutuhan sosial telah terpenuhi.
Sementara Rogers menekankan bahwa proses pembelajaran haruslah
berpusat pada peserta didik (learner-centered), di mana mereka dipandang
sebagai individu yang mampu mengarahkan proses belajarnya. Dalam konteks ini,
pendidikan orang dewasa tidak hanya fokus pada transfer pengetahuan, tetapi
juga pada pemberdayaan individu untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Sementara Rogers menekankan bahwa proses pembelajaran haruslah
berpusat pada peserta didik (learner-centered), di mana mereka dipandang
sebagai individu yang mampu mengarahkan proses belajarnya. Dalam konteks ini,
pendidikan orang dewasa tidak hanya fokus pada transfer pengetahuan, tetapi
juga pada pemberdayaan individu untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Maka pada saat kita sebagai orang dewasa yang juga warga
negara di sebuah bangsa yang telah menyatakan merdeka sejak 79 tahun lalu,
ingin belajar meningkatkan kapasitas kognisi, ketrampilan profesi, dan kemahiran
dalam mengkontribusikan manfaat bagi sesama, ada baiknya kita pun dalam keadaan
merdeka dan bebas dari berbagai tekanan yang dapat mengurangi efektifitas
proses belajar, atau bahkan membuka peluang terjadinya distorsi yang
berkelanjutan.
Proses belajar di bidang tertentu memang unik dan memerlukan
kapasitas mental serta kemampuan adaptif serta daya resiliensi yang luar biasa.
Tapi jangan lupa, standar profesi juga sudah semestinya mengakomodir aspek
manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar dari peserta didik.
Model pendidikan dokter spesialis di Indonesia memang saat
ini tengah dievaluasi dan sedang berproses untuk mencari formula yang ideal.
Salah satu yang tengah diinisiasi adalah model hospital based. Tetapi tentu saja
selain model pendidikan dan perbaikan status peserta didik terkait dengan
penghargaan secara profesi dan
ketenagakerjaan, ada banyak pekerjaan rumah lainnya.
Dari aspek kinerja dan optimasi fungsi pelayanan seorang
dokter sebenarnya sudah cukup banyak acuan yang dapat dijadikan panduan. Di
banyak negara, jam kerja standar bagi dokter seringkali antara 40 hingga 48 jam
per minggu. Ini adalah jam kerja dasar sebelum memperhitungkan tugas on-call
atau overtime.
Di Eropa, menurut Working Time Directive (WTD) Uni Eropa,
pekerja, termasuk dokter, seharusnya tidak bekerja lebih dari 48 jam per minggu
rata-rata, dihitung selama periode tertentu (biasanya 17 minggu).
Dokter sering kali harus menjalani tugas on-call atau shift
malam. Jam kerja ini biasanya diatur terpisah dari jam kerja standar. Di
beberapa sistem kesehatan, on-call dapat menambah beban kerja hingga 60-80 jam
per minggu atau lebih.
Di negara seperti Amerika Serikat, dokter residen di rumah
sakit harus mematuhi batas maksimum 80 jam kerja per minggu (termasuk on-call)
yang diatur oleh Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME).
Untuk menghindari kelelahan dan risiko medis, beberapa aturan
mengatur durasi maksimum shift seorang dokter. Contohnya, di Uni Eropa, shift
tidak boleh lebih dari 12-13 jam per kali. Di Amerika Serikat, dokter residen
biasanya dibatasi bekerja hingga maksimal 28 jam dalam satu shift (24 jam utama
dan 4 jam tambahan untuk tugas administratif atau transisi).
Aturan global merekomendasikan adanya periode istirahat
minimum antara shift untuk mengurangi kelelahan. Sebagai contoh, WTD
mengharuskan jeda minimal 11 jam antara shift. Dokter yang melakukan shift
malam atau on-call seharusnya memiliki waktu istirahat yang cukup di antara jam
kerja tersebut.
Tetapi tentu saja karena program pendidikan dokter spesialis
berkelindan dengan sistem di fasilitas pelayanan kesehatan tempatnya belajar,
maka proses dan mekanismenya juga bergantung kepada kebijakan fasyankes yang
menjadi rumah sakit pendidikan.
Tingginya volume dan beban pekerjaan berbanding lurus dengan
jumlah pasien dan tindakan medik yang harus dilakukan. Sebuah RS rujukan tentu
mendapatkan kiriman pasien dalam jumlah besar dari RS yang berada dalam ruang
lingkup pelayanannya.
Mengapa jumlah pasien rujukan menjadi sangat tinggi? Tentu
banyak pula penyebabnya. Belum meratanya fasilitas kesehatan berupa sarana dan
prasarana tindakan medis dan penunjang medis salah satunya. Salah duanya adalah
belum meratanya sebaran tenaga ahli atau spesialis yang dapat melakukan
tindakan medis atau perawatan di daerah. Demikian pula sistem penjaminan
kesehatan yang terkait dengan pembiayaan tindakan tertentu yang terkadang
menjadi kendala dalam pemberian layanan medik dan berpengaruh pula pada model
rujukan.
Intinya bersekolah dan menempuh pendidikan profesi adalah suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi profesional agar dapat berkontribusi secara optimal pula bukan? Dalam konteks pelayanan kesehatan, kebutuhan terhadap profesi dokter spesialis yang memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat adalah suatu kenyataan. Maka merumuskan dan mencari solusi optimal agar belajar dapat merdeka dan setiap insan cendekia dapat merdeka belajar tampaknya adalah salah satu PR kita sebagai rasa syukur atas nikmat usia negara yang telah beranjak dewasa, 79 tahun merdeka.
Dr. dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes.